Harga Sebuah Kacamata
Hima menyipitkan matanya, membaca
tulisan di spanduk kuning di pinggir jalan.
"
Ma-ri-ki-ta-biya-sa-kan-mem-ba-ca " Senyum kecilnya tersimpul di ujung
bibir.
" Masih gak jelas ya ka ? " Tanya Akhdan. Seorang anak kecil
berkulit lebam, yang berjalan di sampingnya. " Iya de " Jawab Hima
malas.
Kakak beradik itu berjalan santai di tepi jalan yang mulai berdebu.
"Kapan berobatnya ka ?" Tanya Akhdan kembali. " Ah.!..kamu kaya yang gak tau aja! Berobat mata kan mahal. Mana ada biaya " Jawab Hima sekenanya. Anak laki itu hanya menggumam pelan. " Emang berapa biayanya ka ? " Tanya Akhdan kembali.
Kakak beradik itu berjalan santai di tepi jalan yang mulai berdebu.
"Kapan berobatnya ka ?" Tanya Akhdan kembali. " Ah.!..kamu kaya yang gak tau aja! Berobat mata kan mahal. Mana ada biaya " Jawab Hima sekenanya. Anak laki itu hanya menggumam pelan. " Emang berapa biayanya ka ? " Tanya Akhdan kembali.
" Kurang
lebih 300 ribu-an lah " Jawabnya singkat.
" Hah? Mahal sekali ka. Ade saja jajan hanya dua ribu sehari, itu pun kalo
di kasih sama ibu "
ujar Akhdan sambil menghitung jari.
" Iya,
makanya sekarang kakak lagi nabung aja ".
" Baru berapa ka ? "
Tanya Akhdan lagi.
" Delapan… delapan puluh tiga ribu " Jawab Hima
ragu.
Kakak beradik itu tampak serasi, tak pernah ada cek-cok antara keduanya. Mereka hidup damai dibawah atap yang gersang.
Akhdan sudah tahu sebelumnya, bahwa
kakaknya mengalami kelainan mata. Rabun jauh. Begitulah mereka menyebutnya.
Sekarang, Hima tengah duduk di kelas 3 menengah atas. Entah bagaimana caranya,
meskipun matanya miopi sejak kelas 3 SMP. Tapi, namaya tetap bercokor di tiga
besar. Semangat belajarnya tak pernah padam. Sepulang sekolah ia rajin mencatat
catatan temannya. Setiap hari pula ia merasa kelelahan mata, tapi itu sudah
dihiraukannya. Bagaimana tidak ? sepanjang hari ia memaksa matanya melihat diluar jangkuannya. Semakin hari, kian buram penglihatannya. Mau bagaimana
lagi ? Keadaan belum memungkinkannya untuk berobat.
Akhdan, yang baru kelas 2 SMP. Mengerti betul keadaan kakaknya. Ia selalu menyemangati dan memperingati Hima agar keadaannya tak memburuk. Sebenarnya, ia ingin membelikan kaca mata untuk Hima. Tapi apa daya, jawabannya tetap satu. Keadaan belum memungkinkan. Kalau nabung, ia jadi bingung sendiri. Buat sehari-hari saja masih kurang, apa yang mau di tabung. Tapi, di sisi lain, ia juga ingin meringankan beban kakaknya. kasihan melihat kakanya terus memaksakan matanya. Mendengar. Hanya itu yang di andalkan Hima sekarang. Allah memang Maha Adil.
Akhdan, yang baru kelas 2 SMP. Mengerti betul keadaan kakaknya. Ia selalu menyemangati dan memperingati Hima agar keadaannya tak memburuk. Sebenarnya, ia ingin membelikan kaca mata untuk Hima. Tapi apa daya, jawabannya tetap satu. Keadaan belum memungkinkan. Kalau nabung, ia jadi bingung sendiri. Buat sehari-hari saja masih kurang, apa yang mau di tabung. Tapi, di sisi lain, ia juga ingin meringankan beban kakaknya. kasihan melihat kakanya terus memaksakan matanya. Mendengar. Hanya itu yang di andalkan Hima sekarang. Allah memang Maha Adil.
" Hah ? Fisika ? " Tanya Hima keheranan.
" Iya ka. Kan lumayan, kalo juara satu, 500 ribu. Juara dua, 400 ribu. Juara tiga 300 ribu " Jawab Akhdan bersemangat.
" Tapi, sejak kapan kamu suka fisika ? bukannya musuh bebuyutan dari dulu ?. Haha " Ujar Hima cengengesan.
"Iya juga sih, tapi dimana-mana,
yang nama nya nyoba tuh gratis ka. Pokoknya aku mau ikutan ka. Bagaimanapun
caranya, harus juara" Balas sang adik sambil tersenyum puas.
" Haha. Yakin menang ? " Hima tertawa lagi.
" Haha. Yakin menang ? " Hima tertawa lagi.
" Lihat saja nanti !
" Akhdan menantang kakanya.
"
Oke " Balas Hima.
" Tapi kakak janji, kalau aku dapat juara, kakak harus
berobat " Kecam Akhdan.
" Siapa takut
!" Balas Hima cengengesan lagi. Lalu mereka high five bersama. Hima, hanya tertawa meragukan adiknya.
**
Akhdan mulai menyiram dirinya
untuk menumbuhkan bunga-bunga fisika. Karena perlombaan tinggal tiga hari lagi, ia
rela siang-malam bercinta dengan fisika. Tekadnya kuat. Harus Juara. Ia belajar
seperti di kejar anjing, berkejaran dengan waktu. Dari satu materi, ke materi
lain. 72 jam ia pahami seluruhnya. Tekadnya kuat. Harus Juara. Padahal, dari
lubuk hatinya, ia tak sanggup menjadi
pemenang. Namun, bila teringat kakanya, keputusasaan nya luntur seketika.
Hima, sang kakak selalu menemaninya belajar. Kadang ia geleng kepala melihat adiknya seakan kesurupan roh Einstein. Tapi ia juga bangga pada adiknya, omongannya tak pernah main-main. Kesungguhannya memang perlu diacungi jempol. Ia tak pernah lelah mengasah mata pisau fisikanya. " ckkk...ckk..." Hima mendecak kagum.
Hima, sang kakak selalu menemaninya belajar. Kadang ia geleng kepala melihat adiknya seakan kesurupan roh Einstein. Tapi ia juga bangga pada adiknya, omongannya tak pernah main-main. Kesungguhannya memang perlu diacungi jempol. Ia tak pernah lelah mengasah mata pisau fisikanya. " ckkk...ckk..." Hima mendecak kagum.
**
Tiga hari, berlalu dengan sempurna. " Teng..Teng..Teng " Lonceng
mengayun pelan tiga kali. Semua peserta olimpiade fisika, sudah bersiap di
ruangannya. Semuanya tampak santai. Kecuali Akhdan, ia berkomat-kamit,
mengangkat tangannya. Berharap Tuhan kan mengirim malaikat nya untuk menjadi
penolong dalam perang ini. Mukanya serius menyapa soal-saol olimpiade fisika.
Dia bersalaman dengan gemetar, gugup, salting atau apapun itu namanya. Maklum,
ini kali pertamanya berpapasan dengan olimpiade fisika. Sebelumnya mana pernah,
tapi sekarang ? Rupanya ia sudah agak piawai
memainkan rumus-rumus fisika. Soal-demi soal ia lahap dengan gesit. keningnya berkerut, oatknya memutar rekaman materi yang usdah ia hapal sebelumnya. Dua jam berlalu, ia keluar ruangan.
**
Akhdan tampil paling depan bersama kakaknya. Matanya
menatap gerakan mulut sang moderator, telinganya mendengar setiap nama yang
disebutkan moderator. Berharap ada satu nama yang sudah tak asing lagi di
pendengarannya, Akhdan Rifa'i. Namun, di tengah pembicaraan sang moderator.
Jantungnya mengetuk-ngetuk keras. Matanya tak berkedip. Lidahnya tiba-tiba
kelu. Lalu ia menoleh kepada seseorang di sampingnya. Hima tersenyum manis
sambil menepuk bahu Akhdan. Ia membalas senyum kakanya dan bangkit dari posisi
semula. Ia tampil di antara ketiga pemenang. Matanya bersinar kala menerima
sebuah piala dan sebuah amplop coklat kecil.
" Lumayan, 400 ribu " Bisik
hatinya Akhdan. Ia melihat lagi ke kakaknya. Hima tersenyum lebar mengacungkan
ibu jarinya. Ia, di guyur air mata. Hatinya, bangga-takjub- heran melihat anak
laki-laki itu berhasil menjadi pemenang. Lalu, Hima mencium krning adik
kesayangannya itu.
" Akhdan udah nepatin janji. Sekarang giliran kaka
nepatin janji " Ujar Akhdan sambil mengangkat amplop coklatnya. Hima hanya
bisa terisak bangga melihat adiknya, lalu memeluk erat
" Makasih de,
makasih, makasih banyak " katanya. Akhdan juara dua.
**
Bersama sinar matahari yang menembus celah dinding dan jendela,
seorang anak perempuan sibuk berias di depan cermin.
" Hemm... Hidungnya pesek, kacamatanya melorot mulu.
haha " Ujar Akhdan cengengesan.
" Haha. kamu bisa saja de. Ini juga karena kamu " Balas Hima sambil memperbaiki letak kacamatanya.
Matahari bersinar terang, mengecup pagi dengan hangatnya. Alam pun tahu, mereka tengah bahagia.
Kakak beradik itu, jalan berdampingan kembali melewati pematang sawah yang menguning. Lalu menyapa capung juga burung-burung yang bersembunyi di balk ilalang. Dan mereka berbelok kekanan, melewati jalan raya menuuju gerbang sekolah masing-masimg.
" Haha. kamu bisa saja de. Ini juga karena kamu " Balas Hima sambil memperbaiki letak kacamatanya.
Matahari bersinar terang, mengecup pagi dengan hangatnya. Alam pun tahu, mereka tengah bahagia.
Kakak beradik itu, jalan berdampingan kembali melewati pematang sawah yang menguning. Lalu menyapa capung juga burung-burung yang bersembunyi di balk ilalang. Dan mereka berbelok kekanan, melewati jalan raya menuuju gerbang sekolah masing-masimg.
" Darrrrrr...... !!! " tiba-tiba suara dentuman keras menjerit di udara. Lalu sebuah mobil bak kecil tampak oleng di tengah jalan. Hima dan Akhdan panik. Keduanya saling menyingkir. Namun mobil itu seakan tak bisa di negoisasi. Ia berjalan menembus jalur lalu menyeruduk mereka. Hima kebingungan. Kacamatanya merosot dari posisinya, dan tangan Hima spontan mencopotnya pelan. Mereka berlari menjauh. Namun sayang, kacamata Hima terjatuh ke aspal. Akhdan berbalik hendak menyelamatkan kacamatanya. Tapi, mobil itu terus berjalan cepat mendekati nya. Ia berhasil mengambil kacamatanya. Namun, kakinya tergilas. Hima ngilu melihatnya. Ia meneriakkan nama adiknya “ Akhdan…Akhdan.. “ Akhdan pucat menahan sakit. darah berhamburan memaksa keluar. Kaki nya biru lebam. Akhdan meringis kesakitan. Ia menutupkan matanya sembari memberikan sebuah kacamata kepada Hima.
**
Inikah Harga
kacamata bagi Akhdan ? Lebih dari nyawanya.
“ Aku rela tak melihat selamanya,
daripada harus melihatmu seperti ini “ Ujar hima sambil terisak air mata. Debu
pun menjadi saksi pengorbanan Akhdan
Created by Puji Nur Ripha
Bogor, Darul Muttaqien. 2013
0 komentar:
Posting Komentar